Bahasa
Indonesia sebagai sarana tulis menulis. Suku di pedalaman Buton, Sulawesi
Selatan, Cia-cia misalnya. Suku Cia-cia yang berada di Kepulauan Buton, Baubau,
Sulawesi Tenggara ini memang telah lama menggunakan tulisan Korea atau Hangeul
ketika mereka menulis dan membaca. Suku Cia-cia sebenarnya bisa berbahasa dalam
Bahasa Indonesia. Namun awalnya mereka buta huruf sehingga tidak bisa menulis.
Huruf Hangeul yang memiliki 24 karakter diperkenalkan oleh King Sejong pada
tahun 1443 untuk menggantikan karakter huruf China di Korea. Fakta ini menjadi
berita besar baik bagi orang Korea sendiri, maupun oleh warga Asia, maupun
dunia. Orang Korea amat bangga dengan kebudayaannya.
Menurut seorang teman yang pernah ke Korea, di sana jarang orang pakai
mobil-mobil impor. "Kebanyakan orang Korea pakai mobil Hyundai sebab
diproduksi Korea sendiri," katanya.
Kebanggaan akan budaya ini menjadi api yang membakar nasionalisme dan
menebalkan identitas bangsanya. Bisa dibayangkan betapa hebohnya orang Korea
ketika mengetahui bahwa ada satu etnis kecil di Indonesia, di tengah Pulau
Buton, yang belajar alfabet Korea untuk menuliskan bahasanya sendiri. Ini adalah
berita besar buat mereka.
Perlu dicatat, hanya alfabet saja yang digunakan bukan bahasanya. Bahasa tetap
menggunakan Bahasa Indonesia. Aktifitas nelayan di salah satu desa / pemukiman suku Cia-Cia di pesisir Pulau Batuata.
1. Sebuah suku minoritas di Indonesia memilih Hangeul sebagai sistem huruf
resmi (KBS World – 6 Agustus 2009)
Sebuah suku minoritas di Indonesia memilih "Hangeul" sebagai sistem
huruf untuk menuliskan bahasa asli mereka secara resmi. Hal itu merupakan yang
pertama kali, dimana abjad bahasa Korea digunakan oleh masyarakat di luar
negeri. Lembaga riset Hunminjeongeum Korea hari Kamis mengatakan bahwa sebuah
suku di kota Bau-Bau di pulau Buton, Sulawesi Selatan, belakangan ini
menerapkan huruf bahasa Korea, Hangeul untuk menulis bahasa asli mereka yang
disebut 'bahasa Cia-Cia'.
Kota itu mulai mengajarkan sistem tulisan bahasa Korea kepada sekolah dasar
bulan lalu dengan menggunakan buku pelajaran dengan tulisan bahasa Korea selama
sekitar 4 jam per minggu. Bahasa asli suku minoritas dengan jumlah populasi 60
ribu itu hampir terancam punah karena tidak memiliki huruf sendiri untuk
menyampaikan bahasa mereka dengan tepat. Profesor Universitas Nasional Seoul
Lee Ho-young, yang membantu menciptakan buku pelajaran bahasa Korea untuk suku
minoritas di Indonesia itu, mengatakan dia berharap Hangeul akan dapat
menyumbang besar bagi suku suku yang tidak punya huruf sendiri untuk
melestarikan identitas dan budaya mereka.
2. Bahasa Cia-Cia dalam Abjad Korea (Radar Buton – tgl 28 Juli 2009)
Setelah Bahasa Wolio disusun dalam abjat Korea, kali ini giliran Bahasa
Cia-Cia. Peresmiannya dilaksanakan bertepatan dengan ritual Mataa di Kelurahan
Gonda Baru, Kecamatan Sorawolio, belum lama ini. Launching alphabet Bahasa
Cia-Cia ke Bahasa Korea, diwakili Prof Le Ho Yung.
"Orang Korea (Le Ho Yung, red), tertarik dengan aneka bahasa di Buton,
salah satunya Bahasa Cia-Cia, yang saat ini belum mempunyai aksara,"
kata Sekot Baubau, Suhufan, kemarin.
Kata dia, guru besar dari Korea itu menyatakan pulau sekecil Buton dan Baubau,
ternyata tersimpan banyak bahasa. Alhasil, kristalisasi kerja sama tersebut
kembali dipertegas dalam acara malam ramah tamah Festival Perairan Pulau
Makasar (FPPM) ke-2. Le Ho Yung turut hadir.
Untuk menyukseskan komitmen tersebut, pihak Pemkot berencana membangun sebuah
lembaga bahasa. Diantaranya, menjadikan Bahasa Cia-Cia sebagai satu pelajaran muatan
lokal, ditingkat SD, SMP, dan SMA, misalnya di Sorawolio.
3. Suku Cia-Cia di Buton Adopsi Abjad Korea (Jawa Pos – tgl 7 Agustus 2009)
Kali pertama, abjad Korea yang dikenal sebagai alfabet Hangeul segera diadopsi
suku bangsa asing. Kemarin (6/8) Korea Times melaporkan bahwa suku Cia-Cia yang
tinggal di Kota Bau-Bau, Pulau Buton, Sulawesi Tenggara, Indonesia, menggunakan
abjad tersebut sebagai bahasa tulis mereka.
"Mereka akan menggunakan Hangeul untuk merekam bahasa lisan suku,"
ujar Profesor Lee Ho-Young dari Seoul National University seperti dilansir
Agence France Presse.
Menurut dia, suku minoritas yang hanya berjumlah 60.000 orang itu mengajarkan
bahasa tulis dengan abjad Hangeul sejak 21 Juli lalu. Sebagai langkah awal,
bahasa formal tersebut diajarkan di sekolah-sekolah.
Untuk mempermudah pembelajaran, suku Cia-Cia memakai buku panduan yang disusun
Hunminjeongeum Research Institute, komunitas bahasa di Seoul.
"Kini, suku Cia-Cia mampu menerjemahkan bahasa asli mereka dalam
tulisan," imbuh Lee yang ikut menyusun buku panduan tersebut. Dia
menyebut pembelajaran bahasa tulis suku Cia-Cia itu sebagai kasus bersejarah
bagi Korea.
Hingga kemarin, tercatat sudah 140 SMA yang terlibat dalam proyek pengenalan
bahasa tulis Cia-Cia itu. Dalam buku panduan yang disusun Lee dan timnya,
tertulis sejarah dan budaya suku yang sebelumnya tidak pernah punya bahasa
tulis tersebut.
4. Analisis Kategori Kata Bahasa Cia Liwungau (oleh La Yani Konisi &
Ahid Hidayat)
Dalam laporan penelitian ini tidak lagi digunakan istilah Bahasa Cia-Cia, namun
Bahasa Cia Liwungau (BCL), karena yang hanya mempunyai arti adalah 'cia'
(tidak), sedangkan 'cia-cia' tak bermakna. Sedangkan 'liwungau' berarti tempat
yang pernah hangus-terbakar. Oya, BCL ini merupakan salah satu bahasa Cia yang
tersebar di 6 kecamatan di daerah kabupaten Buton (yaitu meliputi kecamatan
Pasarwajo, Sampolawa, Batauga, Sorawolio, Lasalimu, dan Binongko).
Keunggulan Hangeul telah diakui masyarakat internasional. Pada tahun 1997,
UNESCO menetapkan Hangeul sebagai harta warisan catatan internasional.
Universitas Oxford Inggris sempat menempatkan Hangeul sebagai sistem penulisan
paling unggul di dunia. Huruf bahasa Korea, Hangeul, bisa dimasukkan ke
komputer 7 kali lebih cepat daripada huruf bahasa Cina atau Jepang, dan juga
diakui dalam segi keindahan disain (sumber:Globalisasi sistem abjad Korea,
Hangeul').
0 comments:
Post a Comment