Dr. Warsito P. Taruno, M.Eng (55), merupakan salah seorang peneliti Indonesia yang pernah berkarier di Shizuoka University, Jepang, sebagai dosen.
Semula ia dikenal sebagai ahli tomografi yaitu, ilmu atau teknologi tentang cara “melihat†reaksi dalam reaktor baja atau bejana tak tembus cahaya.
Namun karena begitu kuatnya dorongan untuk membantu Suwarni, kakak perempuannya yang menderita kanker payudara stadium IV, Warsito kemudian berusaha membuat alat pembunuh sel kanker.
Alhasil, terciptalah alat terapi yang disebut, breast cancer electro capacitive therapy. Bentuk alat terapinya ini, kata Warsito, mirip bra yang di dalamnya mengandung aliran listrik statis dari baterai yang bisa di-charge.
"Alat ini menggunakan teknologi pemindai atau tomografi kapasitansi listrik berbasis medan listrik statis (electrical capacitance volume tomography/ECVT)," jelasnya kepada Beritasatu.comsembari menunjukkan beberapa bentuk alat terapi kanker temuannya itu.
Kakak Menderita Kanker Payudara
Alat tersebut, lanjut Warsito, digunakan sang kakak 24 jam selama sebulan. Minggu pertama memakai bra berwarna hitam tersebut, Suwarni mulai merasakan adanya efek samping, tapi tak sampai menyiksa seperti proses kemoterapi.
“Hanya saja kakak saya merasa gerah, keringatnya jadi berlendir dan sangat bau. Nggak cuma itu, urin dan fesesnya (kotoran) pun baunya lebih busuk. Tapi nggak perlu khawatir, karena ini menandakan sel-sel kanker yang sudah dihancurkan oleh alat terapinya itu sedang dikeluarkan atau detoksifikasi,†jelas doktor lulusan Universitas Shizuoka, Jepang ini.
Setelah satu bulan memakai alat tersebut, kata Warsito, tak disangka hasil tes laboratorium menyatakan bahwa Suwarni negatif kanker. Dan, sebulan kemudian dinyatakan bersih dari sel kanker. Betapa bahagianya Warsito, ternyata kerja kerasnya membuahkan hasil yang sangat menggembirakan.
Tak hanya sang kakak yang berhasil ditolongnya, seorang pemuda yang lumpuh total akibat menderita kanker otak stadium lanjut pun merasakan manfaat dari alat terapinya itu.
Alat terapi berbentuk helmet yang cara kerjanya sama seperti yang digunakan kakaknya itu dipakai pemuda tersebut selama sebulan, tahun lalu. "Pada tiga hari awal pemakaian alatnya, tingkat emosi pasien meningkat. Selanjutnya, muncul gejala seperti, keringat berlendir hingga feses yang baunya lebih busuk," jelas Warsito yang berpraktik di Jln. Hartono Raya, R 28, Modernland Tangerang.
Syukurlah setelah seminggu menggunakan alat tersebut, pemuda itu sudah bisa bangun dari tempat tidur serta menggerakkan tangan dan kakinya. Dan, setelah dua bulan pemakaian alat terapi, pasiennya sudah dinyatakan sembuh total.
Dikenal Hingga ke Luar Negeri
Beranjak dari keberhasilan itulah Warsito kemudian didatangi begitu banyak penderita kanker. Tak hanya dari dalam negeri, tapi juga luar negeri. Bentuk alat terapinya pun kini bervariasi, disesuaikan dengal letak kanker yang diderita pasien. Ada yang berbentuk korset, rompi, celana, masker, selimut dan masih banyak lagi.
"Masker dipakai untuk kanker mulut. Sementara selimut dipakai bila sel kankernya sudah menyebar kemana-mana," imbuh lelaki kelahiran Karanganyar, Jawa Tengah ini.
Keberhasilan Warsito tersebut ternyata juga menjadi perhatian dunia internasional. Salah satunya adalah The University of King Abdulaziz, Saudi Arabia. Universitas yang berlokasi di kota Jeddah itu sejak tahun lalu sudah memesan breast activity scanner dan brain activity scanner.
Selain itu, sebuah rumah sakit besar di India pun memesan sejumlah alat terapi kanker payudara ciptaan Warsito setelah melakukan test clinical di negara tersebut, tahun lalu.
Tak hanya itu, sejumlah dokter dari Belgia juga sudah menyatakan keinginannya menggunakan alat pembunuh kanker temuan Warsito untuk pengobatan di salah satu negara Eropa itu.
Kemenkes Menyambut PositifWarsito mengaku, alat terapi kankernya ini kini sedang dalam proses sertifikasi oleh Balitbang, Kementerian Kesehatan.
Dia mengatakan, metode radiasi listrik statis berbasis tomografi ini, sepenuhnya hasil karya anak bangsa yang bakal menjadi terobosan dalam dunia kedokteran.
Selain akan merevolusi pengobatan kanker secara medis, lanjut Warsito, alat terapinya itu juga akan meminimalisasi biaya yang harus dikeluarkan pasien atau keluarganya. “Yang pasti ini akan mengubah metode pengobatan yang selama ini menggunakan radiasi berisiko tinggi dan berbiaya mahal,†kata lelaki yang melakukan post doctoral di Ohio University, Amerika ini.
Menanggapi temuannya tersebut, dr Abidinsyah Siregar, DHSM, M.Kes, Direktur Bina Tradisional, Alternatif dan Komplementer dari Kemenkes, menyambut positif inisiatif atau terobosan yang dilakukan oleh Warsito.
“Saya sangat senang ada warga negara seperti Warsito yang melakukan inisiatif atau terobosan seperti ini. Bagaimanapun ia mempunyai hak yang sama untuk melakukan berbagai temuan yang terkait dengan upaya kesehatan, termasuk yang sifatnya non-konvensional,†jelasnya kepada Beritasatu.com, saat ditemui di Kemenkes, Jumat (14/12).
Namun, lanjut Abidinsyah, untuk bisa diakui atau mendapatkan izin edar, memang ada beberapa standar atau kriteria yang harus dipenuhi meliputi: keamanan, bermanfaat dan berkualitas, karena dibuat dengan cara yang benar.
“Saya pikir beliau (Warsito) bisa melakukan itu semua, apalagi sebagai seorang peneliti dia pasti tau teori-teorinya. Kita saja yang memang belum melakukan terobosan seperti cara dia,†jelas Abidinsyah.
Semula ia dikenal sebagai ahli tomografi yaitu, ilmu atau teknologi tentang cara “melihat†reaksi dalam reaktor baja atau bejana tak tembus cahaya.
Namun karena begitu kuatnya dorongan untuk membantu Suwarni, kakak perempuannya yang menderita kanker payudara stadium IV, Warsito kemudian berusaha membuat alat pembunuh sel kanker.
Alhasil, terciptalah alat terapi yang disebut, breast cancer electro capacitive therapy. Bentuk alat terapinya ini, kata Warsito, mirip bra yang di dalamnya mengandung aliran listrik statis dari baterai yang bisa di-charge.
"Alat ini menggunakan teknologi pemindai atau tomografi kapasitansi listrik berbasis medan listrik statis (electrical capacitance volume tomography/ECVT)," jelasnya kepada Beritasatu.comsembari menunjukkan beberapa bentuk alat terapi kanker temuannya itu.
Kakak Menderita Kanker Payudara
Alat tersebut, lanjut Warsito, digunakan sang kakak 24 jam selama sebulan. Minggu pertama memakai bra berwarna hitam tersebut, Suwarni mulai merasakan adanya efek samping, tapi tak sampai menyiksa seperti proses kemoterapi.
“Hanya saja kakak saya merasa gerah, keringatnya jadi berlendir dan sangat bau. Nggak cuma itu, urin dan fesesnya (kotoran) pun baunya lebih busuk. Tapi nggak perlu khawatir, karena ini menandakan sel-sel kanker yang sudah dihancurkan oleh alat terapinya itu sedang dikeluarkan atau detoksifikasi,†jelas doktor lulusan Universitas Shizuoka, Jepang ini.
Setelah satu bulan memakai alat tersebut, kata Warsito, tak disangka hasil tes laboratorium menyatakan bahwa Suwarni negatif kanker. Dan, sebulan kemudian dinyatakan bersih dari sel kanker. Betapa bahagianya Warsito, ternyata kerja kerasnya membuahkan hasil yang sangat menggembirakan.
Tak hanya sang kakak yang berhasil ditolongnya, seorang pemuda yang lumpuh total akibat menderita kanker otak stadium lanjut pun merasakan manfaat dari alat terapinya itu.
Alat terapi berbentuk helmet yang cara kerjanya sama seperti yang digunakan kakaknya itu dipakai pemuda tersebut selama sebulan, tahun lalu. "Pada tiga hari awal pemakaian alatnya, tingkat emosi pasien meningkat. Selanjutnya, muncul gejala seperti, keringat berlendir hingga feses yang baunya lebih busuk," jelas Warsito yang berpraktik di Jln. Hartono Raya, R 28, Modernland Tangerang.
Syukurlah setelah seminggu menggunakan alat tersebut, pemuda itu sudah bisa bangun dari tempat tidur serta menggerakkan tangan dan kakinya. Dan, setelah dua bulan pemakaian alat terapi, pasiennya sudah dinyatakan sembuh total.
Dikenal Hingga ke Luar Negeri
Beranjak dari keberhasilan itulah Warsito kemudian didatangi begitu banyak penderita kanker. Tak hanya dari dalam negeri, tapi juga luar negeri. Bentuk alat terapinya pun kini bervariasi, disesuaikan dengal letak kanker yang diderita pasien. Ada yang berbentuk korset, rompi, celana, masker, selimut dan masih banyak lagi.
"Masker dipakai untuk kanker mulut. Sementara selimut dipakai bila sel kankernya sudah menyebar kemana-mana," imbuh lelaki kelahiran Karanganyar, Jawa Tengah ini.
Keberhasilan Warsito tersebut ternyata juga menjadi perhatian dunia internasional. Salah satunya adalah The University of King Abdulaziz, Saudi Arabia. Universitas yang berlokasi di kota Jeddah itu sejak tahun lalu sudah memesan breast activity scanner dan brain activity scanner.
Selain itu, sebuah rumah sakit besar di India pun memesan sejumlah alat terapi kanker payudara ciptaan Warsito setelah melakukan test clinical di negara tersebut, tahun lalu.
Tak hanya itu, sejumlah dokter dari Belgia juga sudah menyatakan keinginannya menggunakan alat pembunuh kanker temuan Warsito untuk pengobatan di salah satu negara Eropa itu.
Kemenkes Menyambut PositifWarsito mengaku, alat terapi kankernya ini kini sedang dalam proses sertifikasi oleh Balitbang, Kementerian Kesehatan.
Dia mengatakan, metode radiasi listrik statis berbasis tomografi ini, sepenuhnya hasil karya anak bangsa yang bakal menjadi terobosan dalam dunia kedokteran.
Selain akan merevolusi pengobatan kanker secara medis, lanjut Warsito, alat terapinya itu juga akan meminimalisasi biaya yang harus dikeluarkan pasien atau keluarganya. “Yang pasti ini akan mengubah metode pengobatan yang selama ini menggunakan radiasi berisiko tinggi dan berbiaya mahal,†kata lelaki yang melakukan post doctoral di Ohio University, Amerika ini.
Menanggapi temuannya tersebut, dr Abidinsyah Siregar, DHSM, M.Kes, Direktur Bina Tradisional, Alternatif dan Komplementer dari Kemenkes, menyambut positif inisiatif atau terobosan yang dilakukan oleh Warsito.
“Saya sangat senang ada warga negara seperti Warsito yang melakukan inisiatif atau terobosan seperti ini. Bagaimanapun ia mempunyai hak yang sama untuk melakukan berbagai temuan yang terkait dengan upaya kesehatan, termasuk yang sifatnya non-konvensional,†jelasnya kepada Beritasatu.com, saat ditemui di Kemenkes, Jumat (14/12).
Namun, lanjut Abidinsyah, untuk bisa diakui atau mendapatkan izin edar, memang ada beberapa standar atau kriteria yang harus dipenuhi meliputi: keamanan, bermanfaat dan berkualitas, karena dibuat dengan cara yang benar.
“Saya pikir beliau (Warsito) bisa melakukan itu semua, apalagi sebagai seorang peneliti dia pasti tau teori-teorinya. Kita saja yang memang belum melakukan terobosan seperti cara dia,†jelas Abidinsyah.
0 comments:
Post a Comment